Breaking News
Religi  

Penjelasan Gus Baha: Zakat Fitrah Beras atau Uang?

mzaw-icwpost I KH Ahmad Bahauddin Nursalim atau Gus Baha memberikan penjelasan mengenai zakat fitrah yang wajib dilakukan umat Muslim saat bulan Ramadan atau menjelang Hari Raya Idul Fitri.

Sebagaimana hadits Ibnu Umar ra,

“Rasulullah SAW mewajibkan zakat fitrah satu sha’ kurma atau satu sha’ gandum atas umat Muslim, baik hamba sahaya maupun merdeka, laki-laki maupun perempuan, kecil maupun besar. Beliau SAW memerintahkannya dilaksanakan sebelum orang-orang keluar untuk salat.” (HR Bukhari Muslim).

Setiap umat Muslim di Indonesia umumnya membayar zakat fitrah dalam bentuk beras, karena beras merupakan bahan makanan pokok masyarakat Indonesia. Selain makanan pokok, zakat fitrah juga ditunaikan dalam bentuk uang.

Tentu saja ini mengundang pertanyaan mana yang lebih baik, apakah zakat fitrah dengan beras atau uang?

Gus Baha menjelaskan zakat fitrah boleh menggunakan uang asalkan setara dengan takaran yang telah ditentukan, satu sha’ atau empat mud. Ketentuan itu merujuk pada beberapa kitab fiqih I’anah ath-Thalibin Syarh Fathul Mu’in dan Tarsyihul Mustafidin.

“Zakat itu harus berupa beras, tapi Abu Hanifah membolehkan pakai dinar,” katanya.

Menurutnya, pemberian uang ditekankan karena orang lebih membutuhkan uang untuk berbelanja daripada beras yang umumnya sudah menjadi bahan pokok makanan sehari-hari.

“Sekarang orang kalau mau kasih beras, terus yang untuk belanja mana? Inginnya belanja kok dikasih beras,” ucapnya.

Pengasuh Pondok Pesantren Tahfidz Al-Qur’an LP3IA Rembang itu juga tidak menampik bahwa bagi mazhab Syafi’i, zakat fitrah yang dikeluarkan harus berupa beras. Namun mazhab Hanafi dari membolehkan menggunakan uang atau dinar.

Korversi zakat fitrah dari beras menjadi uang, diakuinya bukan tidak menghargai fatwa Imam Syafi’i, melainkan pada saat ini kenyataannya orang-orang lebih membutuhkan uang untuk berbelanja, daripada beras.

“Jadi, saya tetap manut kepada Imam Syafi’i tapi realistis. Karena kebanyakan orang lebih membutuhkan uang,” ujarnya.

Tak hanya itu, dirinya juga memberikan penjelasan mengenai pembayaran zakat fitrah tersebut, apakah diberikan sendiri secara langsung ke penerima atau dititipkan ke panitia zakat di masjid?

“Dari satu sisi sebaiknya zakat diberikan langsung kepada orang yang berhak mendapatkan daripada harus diberikan kepada panitia masjid terlebih dahulu,” katanya.

Jawaban Gus Baha ini merujuk pada penjelasan di Alquran (Al-Baqarah ayat 83) yang menerangkan praktik zakat lebih baik diberikan kepada dzil qurba (ذِي الْقُرْبَىٰ), yaitu orang- orang yang memiliki unsur kekerabatan.

Perihal ayat tersebut, ulama ahli Tafsir Alquran ini mengumpamakan dirinya memiliki uang sebanyak Rp1 juta, kebetulan yang miskin adalah keponakan atau orang yang tidak wajib ditanggung oleh Gus Baha.

Jika uang Rp1 juta tersebut langsung diberikan atau dibagikan sendiri kepada orang yang bersangkutan, maka sudah tentu mereka akan mendapatkan nominal dan ukuran yang lebih besar dibanding dengan yang diberikan oleh panitia zakat.

Nominal kecil tersebut menurut Gus Baha tidak dapat digunakan untuk membeli beras. Namun, penerima zakat akan mendapatkan nominal yang lebih besar ketika zakat langsung diberikan kepada yang bersangkutan.

Dengan cara ini, pemberian zakat disebut lebih terlihat dan dapat lebih memuliakan orang yang menerima manfaat.

Meski begitu, Gus Baha juga menerangkan adanya pendapat ulama yang menyebut praktik zakat sebaiknya dapat dibagi secara merata dan tidak mempertimbangkan nominalnya. Red01/ril